Egality

Kamis, 16 Juli 2009

“ susah senang dirasa sama, bangun – bangun segera “

Seorang wanita tua dengan raut muka pucatnya berdiri nyinyir menghadap sebuah teras rumah makan. Entah sudah berapa lama ia berdiri disitu, di sebuah sudut penantian untuk sejengkal ruas yang ia harap hari ini dapat diisinya. Dalam orang – orang yang terbuang Pram pernah berkata, “ mulialah hidup mereka yang menjadikan makan untuk hidup bukan sebaliknya “.

Siang ini Sang hari seperti sedang berkoalisi untuk memberikan sengatan panasnya yang luar biasa. Aku baru saja menyudahi perdebatan panjang dalam imajinasi aksara. Dan humanisme penat menyeretku untuk pada sebuah kalimat kerja “ makan “. Kususuri jalan dan pelataran, kuikuti naluriku kiranya akan dia bawa kemana aku. Sampailah aku di satu sudut, ternyata naluriku tidak membawaku pada sebuah pemandangan bersantap siang. Dia membawaku untuk sebuah humanisme yang lain. Seorang yang di wajahnya mengatakan, “ hey dapatkah kau menjadi Tuhanku hari ini ? “.

Yahh hari ini aku telah menjadi Tuhan, belumlah untuk semua tetapi untuk satu manusia di hari ini. Ada kepuasan bathin yang aku dapat, bahkan mungkin tak akan kudapatkan rasa puas itu dalam perasaan kenyang. Naluriku masih tetap lapar tapi hatiku telah terpuaskan sebelum aku kenyang. Dan perasaan ini akan menjadi sesuatu yang hangat untuk sebuah kalimat “ aku telah berbagi “.

“ Masih kau baca buku itu ? “, tanya ayahku satu waktu
“ buku yang mana ? “, balik ku bertanya
“ buku yang pernah kau ceritakan, dimana cerita masa depan yang menggambarkan manusia yang hidup tanpa alienasi “
“ ohhh, masih yah “, jawabku
“ seberapa besar kau maknai cerita itu ? “, lagi ia bertanya
“ aku memahaminya sebagai sebuah makna dari kata “ berbagi “, jawabku lagi
“ hahh, “...berbagi...” bukankah itu sebuah makna yang sempit dari sebuah fase primitif “, sinis dan tegas ayah berkata
“ apa ada yang lebih luas dan modern yah ? “
“ ada, tapi kau harus buka pikiranmu karena kau bukan tuhan, temukan jawaban itu nak “


Aku pun memulai pencarian untuk jawaban itu, kususuri, kumasuki semakin dalam dan kurekam dia dengan jelas. Dari sudut kota yang paling sempit sampai yang paling luas. Dari garis batas yang terlihat sampai dengan yang tidak terlihat. Ayahku benar “ berbagi “ masihlah teramat sempit dan primitif. Lihatlah sejarah 1917, kata berbagi untuk perubahan menjadi sempit untuk alasan sepotong roti yang tersedia. “ berbagi “ hanya untuk sebuah naluri lapar dan haus dimasa lalu. Dan dimasa sekarang “ berbagi “ hanya untuk sebuah rasa sakit dan kecewa akibat cinta. Jangan – jangan masyarakat tanpa alienasi akan terbentuk manakala semua orang berada dalam rasa sakit, kecewa, lapar, haus, dan miskin hingga semua dendam akan membentuk rangkaian kata “ berbagi “. Lalu dimana kebahagiaan dan rasa cinta atau saat ini kita telah memulai untuk menguburnya hidup – hidup.

Sang Hari telah tertutup, berganti dengan Si Sabit yang menggantung di angkasa. Aku terduduk diantaranya, sekali ini aku ingin meyakinkan diri bahwa egality akan tetap ada tapi tidak untuk menjadi sempit karena dendam dan rasa sakit. Seperti apa yang dikatakan jhon lennon sebelum ia pergi. Lantunannya menghangatkanku malam ini, menambah sebuah keyakinan masyarakat tanpa alienasi dapat tumbuh oleh kasih sayang dan cinta.


Imagine there's no Heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today

Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace

You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one

Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world

You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as one

Imagine
Jhon lennon

0 komentar: